Saturday, July 21, 2007

Ketika Kau Memilih Pergi

“Di sini riuh batubatu menggerutu, langit tengah ricuh berbagi jarahan.”

Maka kau memilih pergi mengais serpihan pijarfajar, tanah menangisi langit sunyi, kebun kehilangan senyummu. Doadoa menerangi langitlegammu, fajar masih menggambar taman bermain anakanak tanpa nyamuk lalat kecoak, bapakbapak berkubang lendir bidadaribidadari di belakang daster rombeng istri dan anakanak gadis menjadi kupukupu di pestapesta di bilikbilik birahi. Rodaroda belum menggergaji jarak tanah merah sampai aroma aspal terus mengumbar keringat bulan. Kakimu terus menggerus waktu.

Jalan menuju matahari adalah duri belati. Pecahan beling mengintai telapak telanjangmu. Botolbotol tuak bikinan lokal dan impor berserakan. Bekicot dan siput enggan melintasi. Malam masih legam berselimut basah. Para peronda adalah srigalasrigala liar brutal lapar, mengalirkan liur pada tepitepi rimba kelam. Tikustikus got berkejaran dengan sepatusepatu bot dikerubut semutsemut. Kucingkucing buduk menjilati pantat anjinganjing kurap berseragam coklat muda. Burung bulbul terbang di atas makammakam tua di ujung kampung yang sedang mendongeng tentang hantuhantu, legenda para pahlawan, cerita leluhur, kitabkitab kusam. Kakimu belum jua letih mencari pijakan sebab tanah ini masih ditusuki sengketa para budakharta.

“Bilamana tiba di persinggahan?”

Fatamorgana silih berganti menggoda, menawarkan persinggahan penuh nazar dan gagak hitam; istana para penyamun melumat malam. Jangkrik memanggil hujan, mendung belum siap berkerudung. Kodokkodok mengolok langit. Kunangkunang sembunyi di balik moncong cecak. Kelebat kelelawar memainkan udara basah malam. Ah, andai udara bisa dimonopoli, mungkin tuhan akan gulung tikar. Tapi cerutucerutu baja mengepulkan metana karbondioksida di kaki awan menuju kerongkongan malam. Sesekali kau tengadah, meminta jawab atas timbunan mantera para penyihir di pinggir jalan.

Kioskios : brangkasgesek beku membentengi jalan. Para pedagang dijerat kawatduri aparat dan birokrat. Debudebu jalan tiarap di atapatap gedung jangkung, mengintip pahapaha putihmulus mengangkangi jalan. Masih tegar kakimu mencetak jejak; jejakjejak memudar dalam selimut halimun. Bulan kian semarak dengan jubah kelam bergegap gemintang. Fajar sedang mendengkur di balik gubukgubuk petani sayur tapi kau tak menolehnya.

“Perjalananku bukan perjalananmu.”

Maka kau memilih jalanmu; bukan jalan siapasiapa atau warisan nenekmoyang. Sampai saat ini, di sini, kakimu tak hentikan gerak menuju matahari di timur sana. Ah, andai matahari masih setia membagi sedikit fajar di timur sana.

*******
gang jablay, 2007

No comments: