Tuesday, November 29, 2011

Mbelingnya Sebuah Doa Pagi

Oleh Gus Noy

Konon Majalah Aktuil yang berubrik puisi dan digawangi oleh Remy Sylado mulai memuat puisi-puisi yang dikenal dengan istilah “puisi mbeling”, “puisi nakal”, “puisi main-main”, “puisi seronok”, “puisi asal jadi”, “puisi pop”, “puisi antinilai”, “puisi profan”, “puisi awam”, “puisi lugu”, “anti puisi serius”, dan sejenisnya pada tahun 1972. Pada edisi No.207, Oktober 1976 majalah tersebut memuat salah satu puisi karya Cunong Nunuk Suraja yang berjudul “Doa Pagi”.

Doa Pagi

Tuhan yang baik hati

berilah aku malam ini

seorang perempuan cantik

yang liar bagai kuda binal

yang tegar dan segar

yang lebih perawan dari fajar matahari

yang lebih gagah dari Bima

yang mencintai dirinya sendiri

Terus terang, puisi di atas saya ambil dari buku Puisi Mbeling : Kitsch dan Sastra Sepintas (Indonesiatera, 2001). Saya tertarik untuk mengulasnya karena, pertama, saya suka puisi mbeling dan suka juga membuatnya meski entah apa penilaian orang yang tidak mbeling. Kedua, jujur saja, Cunong nunuk Suraja adalah kawan saya di Cybersastra sejak awal tahun 2000, kendati beliau sudah eksis sejak tahun 1970-an dengan komunitas “Persada Studi Klub” yang dipresideni oleh Umbu Landu Paringgi yang termasyur di jagad perpuisian Indonesia itu. Ketiga, ada beberapa hal yang ‘menggelitik’ untuk saya tuliskan, walaupun saya sama sekali awam dalam dunia perpuisian.

*

Kata orang, warga negara Indonesia itu sangat spiritual, sangat memahami hakikat ber-Tuhan dan berdoa. Puisi “Doa Pagi”, yang dibuat oleh orang Indonesia, memperlihatkan sisi spiritual orang Indonesia dalam judul dan tokohnya, “aku”. Dengan berdoa (doa pagi) jelas sisi spiritualitasnya si “aku”. Juga mengenai waktu-waktu, misalnya pagi, siang, sore, dan malam hari. Mulailah “aku” berdoa pagi, yang mungkin, selepas fajar, dan tentunya masih segar, semangat baru, pikiran baru, tegar, dan gagah sebagaimana yang tertuang dalam puisinya.

Tuhan yang baik hati

Doa dimulai dengan memuji. “Tuhan yang baik hati,” katanya. Doa dengan pembukaan berkalimat pujian atau pengagungan semacam itu memang jamak, dan sesuai pakem yang diyakini “aku”. Tuhan yang baik hati. Atau, Tuhan yang Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Besar, Maha Penyayang, Maha Penolong. Hal itu bisa untuk mengingatkan bahwa manusia datang kepada Tuhan melalui doa adalah dengan kesadaran atas keagungan atau kebaikan Tuhan. Begitulah “aku” menyadari hakikat diri dan hakikat Tuhannya, yang baik hati.

Kemudian, mungkin karena doa tidak perlu bertele-tele dengan segala basa-basi, dan dengan semangat paginya orang muda ini memilih bersegera. “Aku” langsung saja meminta, “berilah aku”. Ada pendapat, berdoa adalah meminta, atau mintalah melalui doa. Oleh karenanya, setelah memuji sekejap, lantas segera saja meminta. Langsung pada sasaran.

Tuhan yang baik hati

berilah aku...

Aha! Ini doa rayuan gombal; memuji-muji lantas ujung-ujungnya meminta. Doa semacam ini sering mengudara di mana-mana. Malah sering pula terjadi, “Bapak atau Ibu atau Tuan atau Bos yang baik hati, berilah aku...” Sungguh-sungguh rayuan gombal, bukan?

Dan “aku” sebagai orang muda, meski sudah lewat remaja atau anggap saja umurnya 25 tahun (saya sesuaikan dengan umur Cunong ketika itu), merupakan orang muda dalam masa keemasan dan produktif. Sebagian orang muda dalam usia segitu, yang mungkin juga sudah bekerja, tak jarang berdoa pagi dengan kalimat, “mohon hari ini pekerjaan bisa lancar seperti sungai tanpa bendungan; sabarkan dan tegarkan aku dalam tekanan atasan-rekan kerja-pekerjaan-relasi kerja”, dan seterusnya. Maksudnya, dalam berdoa pagi untuk memulai kegiatan bekerja, isi doa berkaitan dengan pekerjaan adalah biasa.

Rayuan gombal cukup pendek dan pas demi waktu yang akan dilanjutkan untuk bekerja. Secara pragmatis, berdoa harus mempertimbangkan waktu dan kepentingan. Terlalu khusyuk, tentunya bisa menyita waktu. Waktu yang tersita, kenapa hanya karena berdoa? Berdoa bisa saja langsung pada intinya. Sedangkan pagi adalah waktu sempit karena pekerjaan menjadi kewajiban utama. Masih harus membagi waktu dengan ritual mandi dan sarapan. Barangkali begitu menurut “aku”.

Di sini “aku” berbeda dari sebagian orang muda lainnya dalam berdoa pagi. Menurutnya, doa pagi tidak perlu melulu dengan harapan terbaik untuk memulai kerja dan nanti bagaimana proses atau suasana dalam bekerja sejak pagi, siang sampai sore. Tampaknya tidak masalah dengan semua itu. Rutinitas yang memang harus dilakoni. Bukan beban atau tekanan. Maka “aku” berdoa untuk “malam ini”. Meloncati batas waktu siang dan sore. Main terabas dengan sebuah jalan pintas.

Tuhan yang baik hati

berilah aku malam ini

Mengapa “aku” memilih menerabas waktu begitu? Seperti yang saya sangka sejak semula, bahwa “aku” adalah orang muda, maka bekerja sedari pagi sampai sore dengan segala tetek-bengeknya masalah adalah hal yang biasa. Tidak lagi menjadi beban dan tekanan yang berarti, apalagi keluhkan kepada Tuhan. Singkatnya, biarkan saja begitu karena memang selalu begitu keadaannya. Tidak ada yang sangat penting untuk diminta-minta dari waktu ke waktu. Toh dalam satu hari kerja beserta seluruh beban-tekanan kesibukannya, waktu akan segera berlalu tanpa terasa.

Namun yang lebih membebani dan sangat menekan dalam hari-harinya adalah kesendirian, yang dalam istilah kini, jomblo. Bekerja itu biasa. Ditekan bos, suasana kerja, dan tanggung jawab sebagai seorang profesional, itu biasa. Yang luar biasa bagi orang berusia 25 tahun adalah jomblo di malam hari. Dengan waktu yang cepat tergerus oleh rutinitas pekerjaan lantas tanpa sadar hari sudah malam, maka dalam malam itulah “aku” kembali pada dirinya yang “sendiri” alias di luar hiruk-pikuk pekerjaan, makian atasan, atau senda-gurau rekan kerja. Seorang diri mengalami malam. Ini paling memilukan!

Maka, “aku” harus segera menyikapinya sebab rutinitas pekerjaan yang bakal mengekang ingatannya kepada malam dan kesendirian.

berilah aku malam ini

seorang perempuan...

Normal, laki-laki mengidamkan seorang perempuan, apalagi dalam kesendirian pada malam-malam terasa sunyi mencekam. Memang, kalau lebih nakal atau mbeling lagi jika “aku” meminta (kepada Tuhan yang baik hati) seorang banci. Kalau “seorang banci” yang diminta, puisi tersebut kian kental mbeling-nya. Tapi itu, kan, pendapat saya. Mana boleh saya menggantinya, kecuali membuat parodi (plesetan)-nya.

Baiklah, saya kembali dengan puisi Cunong tadi. Ya, seperti yang sempat tertulis, bahwa “Doa Pagi” itu adalah doa rayuan gombal, bisa terlihat pada terusan dari “seorang perempuan...”

Tuhan yang baik hati

berilah aku malam ini

seorang perempuan cantik

Sudah menyebut “baik hati”, tentu saja permintaannya tidak sekadar “seorang perempuan” tetapi “perempuan cantik”. Maksudnya, kalau baik hati, pastilah akan memberi yang cantik. Barangkali kalau “aku” berdoa, “Ya Tuhan, berilah aku seorang perempuan yang cantik...” akan terasa tidak adil. Tanpa menambahi embel-embel “baih hati”, kenapa nekat meminta “perempuan cantik”? Maka rayuannya harus pantas, “baik hati” dan “perempuan cantik”. Pas!

Tunggu dulu! Perempuan cantik saja ternyata tidak cukup bagi “aku”. Apalah gunanya menyebut “baik hati” tapi hanya memberi seorang perempuan cantik tapi bisu dan membeku seperti patung atau manekin. Seorang diri di malam mencekam akan kian menyiksa jika hanya ditemani patung. Seorang pekerja muda sudah letih bekerja dan bercengkerama dengan orang yang membosankan sejak pagi hingga sore, memerlukan sensasi yang bukan cuma ada dalam imajinasi berupa “seorang perempuan cantik” lalu selesai persoalan kejombloan!

Nah, “aku” harus menyiasatinya. Orang muda yang bekerja keras memerlukan ‘rekan’ atau ‘lawan’ yang juga giat bekerja untuk menghadapi malam yang selalu mencekam. Kemudian “aku” meneruskannya agar jelas siapa rekan dalam perjuangannya!

seorang perempuan cantik

yang liar bagai kuda binal

Yang liar bagai kuda binal, tentunya yang bisa mengimbangi “aku” dalam menghadapi malam. Artinya, selama ini “malam” selalu hiperaktif dibanding pagi sampai sore yang memang tidak terasa karena “aku” tidak sendiri. Cantik yang liar bagai kuda binal! “Aku” tidak sudi lagi “bekerja sendirian” di saat ada seorang perempuan cantik di sampingnya. Perempuan itu harus “liar bagai kuda binal”. Kalau kuda poni atau kuda tunggangan semacam yang ditunggangi Larasati, hanya akan menambah lelah saja bagi “aku”.

Berikutnya, kalau hanya “liar bagai kuda binal”, bisa jadi nantinya ternyata “seorang perempuan cantik tapi kolokan alias manja tidak ketulungan”. Oh, tidak bisa, kata Sule dalam lakon OVJ. Beberapa perempuan cantik ternyata masih meneruskan sifat manja yang keterlaluan seperti remaja umumnya. “Aku” tidak sudi dibebani lagi oleh kemanjaan seorang perempuan cantik, meski liar bagai kuda binal”.

seorang perempuan cantik

yang liar bagai kuda binal

yang tegar dan segar

Tegar dan segar, dan keduanya tidak terpisahkan. Tegar tanpa manja bahkan protes (komplain). Ada juga yang semula tegar tapi selanjutnya kecapekan, dan lemas (letoy) alias kurang bersemangat. Ada pula yang tegar tapi sudah “tidak segar”, dan yang semacam ini mungkin banyak ditemui oleh “aku”. Segar dalam semangat dan penampilan (kecantikan yang segar, muda). Tapi “yang tegar dan segar” yang bagaimana menurut “aku”?

yang tegar dan segar

yang lebih perawan dari fajar matahari

Sesuatu atau suasana yang baru dengan semangat baru dalam satu hari diungkapkan oleh “aku” sebagai fajar matahari. Fajar dan perawan yang berarti kebaruan yang menyegarkan, dan matahari adalah ketegaran yang konsisten melakukan tugasnya, asalkan tidak ada gangguan dari gerombolan mendung. Lebih perawan dari fajar, mungkin maksudnya perempuan yang benar-benar belum tersentuh oleh lawan jenisnya. “Aku” berpendapat bahwa Tuhan harus mengetahui rincian itu agar tidak mengecewakan nanti malam, bahkan bisa “lebih” dari menyenangkan!

Cukup? Oh, belum! Mumpung masih pagi, dan pikiran masih jernih bagai air sungai di pengunungan, rincian permintaan harus ditambahkan agar semakin jelas. .

yang lebih gagah dari Bima

Yang lebih gagah! Gagah, mungkin, maksudnya adalah mampu menguasai dan mengendalikan situasi. Tentunya ada sensasi tersendiri bagi “aku” jika malamnya nanti ditemani oleh seorang perempuan cantik yang mampu menghadapi medan laga secara lebih gagah daripada dirinya “aku”.

Lebih gagah daripada dirinya “aku”? Oh, tidak cukup. Tapi “lebih dari Bima“! Bima adalah seorang tokoh pewayangan yang terkenal memiliki kesaktian andalan pada kukunya. “Aku” menginginkan “perempuan cantik yang liar, tegar, segar, perawan” itu juga memiliki “senjata ampuh” bahkan melebihi yang dimiliki Bima untuk menaklukkan malam yang angkuh.

Selain itu Bima dikenal sebagai tokoh kesatria dalam pewayangan tapi yang paling ‘nyleneh’ (slengekan) karena tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) dalam berbicara terhadap orang yang lebih tua atau disegani. “Aku” tidak menyukai hirarki-patriarki secara jender menempatkan perempuan hanya sebagai “kanca kamar” dengan kesantunan ucapan, “Kangmas...” yang terkesan klemak-klemek.

Ke-mbeling-an itu pun, menurut saya, adalah mencampuadukkan kepercayaan kepada Tuhan dan tokoh Bima. Kata “Tuhan” biasanya dipakai oleh Islam dan Kristen. Sementara Bima adalah tokoh Mahabarata dalam Hindu, yang menyebut “Sang Hyang Widhi” untuk “Tuhan” meski sebenarnya sama artinya dengan “Tuhan Yang Maha Esa”.

Ini termasuk mbeling-nya “aku”, bukannya sedang melecehkan “Tuhan yang baik hati”. Mitos tokoh Bima diharapkan “aku” bisa mempermudah Tuhan memahami kegagahan sekaligus kesaktian seperti siapakah yang “aku” inginkan. Juga seolah “aku” mewanti-wanti, semoga Tuhan tidak “salah paham” bahkan “keliru” memberikan atau mengabulkan doa paginya.

Jelaslah, malam ini “aku” mengidamkan seorang perempuan cantik, liar, tegar, segar, perawan, memiliki “senjata ampuh” tapi tidak klemak-klemek dalam bersikap dan berucap. Seorang perempuan yang sungguh-sungguh bisa diandalkan oleh “aku”. Tuhan pasti bisa membayangkan sekaligus memberikan yang sesuai dengan rincian dalam doa paginya.

Meski sudah menyebutkan seorang pembanding (Bima), rupanya “aku” tidak mau menyebut tokoh pembanding untuk “seorang perempuan”, semisal Srikandi. Bisa jadi “aku” kuatir, dengan menyebut nama Srikandi, itu jelas istri Arjuna. “Aku” tidak mau istri orang tetapi tetap menginginkan “yang lebih perawan dari fajar matahari”. Lebih perawan itu mungkin artinya tidak pernah tersentuh bahkan oleh khayalan siapa pun.

Akan tetapi, kalau pada akhirnya hanya untuk “aku”, bagaimana nanti dengan yang dirasakan oleh “seorang perempuan” itu? Dalam suasana kesegaran pikiran pagi yang masih jernih, “aku” mampu memperkirakan bahwa perempuan cantik yang bla-bla-bla begitu pasti sanggup memenuhi kepentingan diri “aku”. Namun kalau sekadar menyenangkan atau mencintai “aku”, ini pun ujung-ujungnya hanya menjadi “budak” bagi “aku”. Menyenangkan bagi lawan jenis tapi tidak mampu menyenangkan dirinya sendiri, ujung-ujungnya akan merusak suasana malam akan dihadapi nanti. Akhir perjuangan akan terasa tidak adil dan tidak bisa dinikmati dengan kesenangan berdua.

“Aku” tidak mau jadi laki-laki egois. Menghadapi malam berdua, harus bisa dinikmati berdua pula. Agar tidak berujung pada “kepentingan sepihak”, doa pun dipungkasinya dengan satu lagi, yang tidak kalah penting dan krusialnya.

yang mencintai dirinya sendiri

Lengkap! Kalau dipungkasi dengan “yang mencintaiku apa adanya”, egoisme dan egosentrisnya nyata. Rupanya “aku” tidak begitu. “Aku” memahami bahwa perempuan itu pun nantinya bisa meraih kesenangan bagi dirinya sendiri. Tujuan demi kepentingan kedua belah pihak pun bisa tercapai. Kepuasan perjuangan menghadapi malam pastilah menyenangkan jika “aku” dan “dambaan doa pagi”-nya bisa menikmati sebaik-baiknya.

Dari semua rincian permintaan dalam “Doa Pagi” itu, menurut “aku”, pasti sudah adil. Pertama, diawali dengan “Tuhan yang baik hati”. Di awal itu “aku” merasa sudah menyenangkan Tuhan sesuai pakem doa. Kedua, karena memang “baik hati”, maka “berilah aku”. Ketiga, keperluanku untuk “malam ini” karena sedari pagi hingga sore hari “aku” hanya melakukan rutinitas yang menguras tenaga, pikiran dan perasaan sejak pagi hingga sore. Keempat, sebagai orang jomblo, jelas memerlukan “teman”, yaitu “seorang perempuan” yang terinci dengan mantap. Kelima, “mencintai dirinya sendiri” alias dia juga memerlukan “aku” untuk “malam ini”. Sehingga kesenangan tiga pihak bisa terangkum jadi satu paket yang baik, adil, dan tidak melanggar pakem doa yang mujarab!

*

Begitulah saya membaca puisi mbeling “Doa Pagi” dengan pemahaman awam saya. Ke-mbeling-an yang bisa saya bayangkan pada kesucian Tuhan dan kekhusyukan doa yang ternyata hanya untuk berasyik-masyuk nanti malam. Artinya, sebagian orang melakukan “Doa Pagi” dengan mengatasnamakan “Tuhan yang baik hati” seolah sebuah rayuan gombal sebab ujung-ujungnya justru semata untuk memuaskan kepentingan dirinya sendiri, meski pura-pura “demi kepentingan orang lain juga”.

Ada satu pertanyaan yang mengikat rangkaian doa, apakah akan terkabul? Pembukaan sudah memuji lalu meminta tapi tidak ditutup dengan satu kata, yaitu “amin”. Kata penutup untuk pakem sebuah doa ternyata dilupakan “aku” sebab “aku” terlalu asik merinci sambil membayangkan “seorang perempuan cantik” untuk “malam ini”. Saya haqulyakin, “malam ini” bidadari tidak bakal datang, dan “aku” hanya akan gigit jari. Doa paginya sungguh mbeling sekali.

Selain itu, ada dua bagian yang turut menggelitik. Pertama, “aku” meminta “seorang perempuan cantik”. Kalau tadinya “aku” dikira masih jomblo, belum tentu begitu. Mungkin saja “aku” seorang duda, yang ditinggal mati atau malah minggat istrinya. Mungkin pula “aku” sudah beristri tetapi istrinya tidak seperti “seorang perempuan” yang disebutkannya dalam doa. Dan doa-doa yang mirip “Doa Pagi” ini barangkali sering dilontarkan oleh sebagian pria beristri tapi sedang mengalami kebosanan terhadap istri mereka.

Kedua, seorang perempuan “yang lebih gagah dari Bima”. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, “kuku Bima” berkonotasi pada bentuk menonjol. Kalau “aku” adalah laki-laki, kenapa menginginkan seorang perempuan “yang lebih gagah dari Bima”? Apakah “aku” seorang laki-laki yang sesungguhnya “tidak gagah”, cengeng, dan sedang mencoba mengobati kelainan orientasi seksualnya yang cenderung homoseksual atau gay? Ataukah “aku” justru “seorang perempuan lembut” yang mengalami kelainan orientasi seksual alias lesbian? Hanya Tuhan dan Cunong-lah yang mengetahui semua itu!

*******

Balikpapan, Akhir November 2011

No comments: